Wednesday, May 28, 2008

Pandangan Kesetaraan Jender Nurcholish Madjid*

Menurut Siti Musdah Mulia** sangat sulit untuk menemukan tulisan Caknur yang mnyebutkan secara eksplisit soal kesetaraan jender. Namun dari berbagai ide dan pandangannya, nilai-nilai kesetaraan jender begitu terbaca seperti dalam pandangan Cak Nur yang meliputi persamaan manusia, institusi perkawinan dan nilai-nilai yang dianut dalam jilbab dan hijab. Dari ketiga gagasan Cak Nur ini sudah terlihat bahwa kesetaraan jender adalah salah satu dari bahan pemikiran Cak Nur.

Gagasan Mengenai Persamaan Manusia

Gagasan kesetaraan jender Cak Nur mula-mula ditunjukkan melalui ide persamaan antar sesama manusia yang disebut Cak Nur bersumber melalui tauhid dan memiliki efek pembebasan diri (self-liberation) serta pembebasan sosial. Berdasarkan prinsip ini, maka tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, dan tidak membenarkan adanya absololutisme di antara sesama manusia.

Cak Nur sangat konsisten pada gagasannya tentang al-musawah atau persamaan di antara manusia, terutama dalam konteks perwujudan demokrasi dan penegakan masyarakat madani. Menurutnya, semua manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan atau kesukuannya dan lain-lain, adalah sama dalam harkat dan martabat. Melalui pandangan ini, sudah jelas terlihat bahwa pandangan Cak Nur mengenai persamaan manusia secara langsung akan mengarah juga kedalam gagasan persamaan jender sebab gagasan persamaan manusia akan berarti bahwa semua manusia adalah sama dan tidak ada perbedaan yang berarti dalam pria dan wanita. Lebih dalam lagi Cak nur mengatakan bahwa satu-satunya aspek yang membedakan manusia dengan manusia lainnya adalah tingkat ketakwaannya. Siti Musdah Mulia menambahkannya dengan menyimpulkan bahwa jika Cak Nur berbicara mengenai penegakan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pastilah harus dimaknai bahwa tidak ada demokrasi tanpa keikutsertaan perempuan, karena masyarakat selalu terdiri dari lelaki dan perempuan.

Pandangan Tentang Institusi Perkawinan

Disini Cak Jur disebut tertarik mangulas soal insitusi perkawinan disebabkan oleh menurutnya bicara soal perkawinan berate bicara soal hukum keluarga. Pandangan Cak Nur yang paling terkenal dalam kaitannya dengan institusi perkawinan adalah kesimpulannya yang mengatakan bahwa amat dimungkinkan perempuan muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara kebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.

Hal ini, menurut Cak Nur merujuk pada semangat yang dibawa Al-Quran sendiri yaitu pluralitas agama yang merupakan sunnatullah dan bahwa tujuan hakiki pernikahan adalah untuk merekatkan tali kasih dan tali sayang yang oleh karena itu di tengah rentannya hubungan antar penganut agama, pernikahan berbeda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antar masing-masing pemeluk agama. Selain dari alasan ini, Cak Nur juga mengemukakan bahwa sementara tidak ada teks suci yang memperbolehkan pernikahan antar agama tidak ada juga teks suci yang melarang pernikahan berbeda agama. Terlihat dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh Cak Nur pengaruh pandangannya dalam persamaan manusia yang secara langsung terkait dengan persamaan jender.

Pandangan Tentang Jilbab dan Hijab

Meengenai permasalah pemakaian Jilbab pada wanita, Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Selengkapnya beliau menuliskan, “Jika jiibab memang ditetapkan untuk perlindungan, atau lebih jauh lagi untuk meningkatkan prestise kaum perempuan yang berpengaruh, atau kaum perempuan dari kalangan atas atau kelompok elit, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab dan hijab merupakan sesuatu yang lebih bersifat dan bernuansa budaya dibandingkan bersifat religi”.

Dengan pandangan itu Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa jilbab dan hijab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam hanya sebagai perlindungan terhadap perempuan. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau menggunakan jilbab dan hijab atau tidak. Cak Nur juga menambahkan bahwa dalam realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa; tidak menjadi jaminan kesalehan dan ketakwaan, tidak ada jeminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan salehah sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Masih banyak perempuan yang tidak memakai jilbab jauh lebih baik kualitas kemanusiaannya dibandingkan dengan perempuan pemakai jilbab karena jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang yang sayangnya menurut pendapat umum jilbab adalah bukti keshalehan.

Kesimpulan

Dari ketiga gagasan dan pemikiran Cak Nur tersebut terlihat bahwa Cak Nur sangatlah memperhatikan kesetaraan jender sehingga oleh Siti Musdah Mulia, Cak Nur disebut sebagai seorang yang mempunyai sensivitas jender yang kuat. Namun sepertinya sebutan itu terlalu sempit bila diberikan kepada Cak Nur, sebab latar belakang dari ketiga gagasan dan pemikiran Cak Nur tersebut terlalu luas jika hanya dikaitkan pada sensivitas jender. Lebih tepat apabila Cak Nur disebut mempunyai sensivitas luar biasa terhadap kemanusiaan dan otomatis mendukung persamaan manusia seperti yang sudah disebut di halaman pertama dari tulisan ini. Dengan begitu, sensivitas terhadap jender yang disebut oleh Siti Musdah Mulia hanyalah sebuah riak kecil didalam pemikiran kemanusiaan Cak Nur yang luas.

*
Satu bab dalam buku ”Menembus Batas Tradisi: Menuju Masa Depan yang Membebaskan” yang disampaikan oleh Siti Musdah Mulia pada Simposium Pemikiran Cak Nur dalam rangka Dies Natalis Universitas Paramadina ke-VII, tanggal 17-19 Maret 2005 di Jakarta.
**
Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)

.aziS
ini salah satu paper tugas gua yang gua pikir bagus juga kalo ada yang baca. ehehehe

No comments: